Hantu Itu Bernama PKI

Ilustrasi gambar hantu PKI/ Kumparan

Opini, Naraya News - Isu bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI) sepertinya tidak pernah absen dari panggung perpolitikkan Indonesia. Hampir setiap menjelang akhir bulan September, ada saja isu yang dilayangkan oleh pihak tertentu. Isu ini mengingatkan kita akan sejarah kelam pada malam 30 September tahun 1965 atau G30S/PKI yang mengakibatkan terbunuhnya 6 jendral dan 1 perwira TNI AD. Akibat peristiwa kelam tersebut, PKI kemudian dilirik sebagai dalang tragedi berdarah itu. Kemudian pada tanggal 5 Juli ditetapkanlah Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang di Negara Republik Indonesia dan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Keberlanjutan dari peristiwa tersebut juga menyebabkan pembantaian massal (1965-1966) terhadap mereka yang dituduh sebagai simpatisan PKI. Dampak dari pembantaian massal tersebut mengakibatkan lebih dari dua juta orang mengalami penangkapan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, pemerkosaan, kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan, penghilangan paksa, wajib lapor dan sebagainya. Bukan hanya korban, keluarga korban pun turut mengalami diskriminasi atas tuduhan sebagai keluarga PKI, seperti kehilangan pekerjaan, dikucilkan, hingga kesulitan memperoleh pekerjaan. Namun hal itu semuanya berubah pasca Soeharto lengser digantikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie atau BJ. Habibie dan kemudian tongkat kepemimpinan selanjutnya diteruskan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dilansir dari tirto.id, lima bulan setelah dilantiknya menjadi presiden, Gus Dur mengeluarkan permintaan maaf atas peran NU dalam pembunuhan massal 1965-1966. Bukan hanya meminta maaf, Gus Dur mengundang para eksil yang tidak bisa pulang ke Indonesia akibat peristiwa G30S/PKI untuk datang kembali ke negeri mereka. Selain itu, Gus Dur juga menyerukan pencabutan Tap MPRS XXV tentang pelarangan PKI dengan alasan karena berlawanan dengan spirit Pancasila yang tidak tertulis (Bhineka Tunggal Ika). Alasan lain Gus Dur menyerukan pencabutan Tap MPRS XXV juga sesuai UUD 45 yang mengamanahkan agar negara melindungi segenap bangsa Indonesia.

Kini sudah memasuki akhir bulan September, ada saja beberapa pihak yang kembali mengangkat isu tersebut. Bahkan yang sekarang ini sedang hangat diperbincangkan adalah tentang pernyataan mantan Panglima TNI Jendral (purn) Gatot Nurmantyo soal TNI sudah disusupi oleh komunis. Buntut dari tudingan tersebut lantaran hilangnya patung Soeharto, Jendral (purn) Abdul Haris Nasution, dan Letjen Sarwo Edhie Wibowo dari Museum Dharma Bakti yang terletak di area Markas Kostrad, Jakarta Pusat. Tudingan tersebut lantas kemudian ditanggapi oleh Panglima Kostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman, dan menegaskan bahwa hal tersebut merupakan tudingan yang keji. Hal itu juga ditegaskan jika patung tersebut ditarik oleh penggagasnya, yakni Panglima Kostrad Letjen TNI (purn) AY Nasution dengan alasan dirinya merasa berdosa atas membuat patung itu menurut keyakinan agamanya.

Fakta sejarah atau sebuah propaganda?

Peristiwa sejarah gerakan 30 September tersebut diabadikan dalam sebuah film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Film tersebut menuai banyak kontroversi dikarenakan peristiwa sejarah gerakan 30 September belum sepenuhnya terkuak. Film itu diproduksi oleh Perum Perusahaan Film Negara (PPFN) yang menuai sukses besar.  Bahkan film tersebut merupakan film termahal pada dekade 1980-an dan menghabiskan biaya sebesar Rp.800 juta. Budi Irawanto, peraih Doktor Kajian Asia Tenggara bidang Film di National University of Singapore, menyatakan jika film tersebut sukses menjalani fungsinya sebagai film propaganda mempengaruhi sebagian besar alam pikiran rakyat Indonesia. Hal itu juga diakui oleh Amoroso Katamsi selaku pemeran Soeharto dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI memang ada semacam muatan politik dan ada beberapa adegan yang berlebihan. Selain itu, diperkuat juga oleh hasil Visum et Repertum para dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto (RSPAD) tersebut tidak menemukan irisan ribuan kali dengan silet, mata yang tidak dicungkil, dan tidak juga dimutilasi. Jasad keenam jendral dan satu perwira tersebut terbunuh oleh tembakan dan luka tusukan bayonet.

Jika kita berpegang kepada laporan para dokter, maka kita akan berasumsi bahwa kisah-kisah tentang penyiksaan itu merupakan salah satu bagian dari propaganda. Namun yang sekarang ini, di era refromasi, hampir setiap bulan September ada saja isu tentang kebangkitan PKI. Apakah benar PKI itu bangkit dari kuburnya? Atau hanya sebagai isu politik belaka, karena sejauh ini belum ada bukti yang mengarah ke arah tersebut. Maka dari itu, bisa kita katakan bahwa PKI ini bagaikan hantu yang terus menggentayangi Indonesia. Selama masyarakat kita masih terpengaruh oleh propaganda, maka hantu itu akan terus menghampiri kita. Hal itulah yang terus dimanfaatkan oleh politisi untuk kepentingan meraih kekuasaan tertentu.

 

 

 

Penulis          : Gus Amd

Editor            : Sha

Lebih baru Lebih lama