Opini, Naraya News - Pada tanggal 24 September 1960, Presiden Soekarno mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini mengatur tentang hak-hak dan kewajiban kaum tani, hak tanah, dan hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola, dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa. Prinsip dari UUPA ini adalah menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat. Penetapan Hari Tani Nasonal ini juga berdasarkan keputusan Presiden Soekarno, pada tanggal 26 Agustus 1963 No. 163/1963 yang menandakan pentingnya peran dan posisi petani sebagai entitas bangsa. Oleh karena itu, setiap tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional yang dirayakan oleh para petani di seluruh Indonesia. Hal ini juga merupakan suatu bentuk penghormatan kepada para petani yang terus memajukan pertanian Indonesia, dimana atas jerih payah keringatnya, kebutuhan pangan anak bangsa bisa terpenuhi.
Indonesia termasuk ke dalam negara agraris, hal itu dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja disektor pertanian. Sektor pertanian sendiri memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Petani merupakan salah satu ujung tombak yang penting bagi kedaulatan pangan. Petani adalah penjaga pangan bangsa. Hari Tani Nasional menjadi tonggak sejarah bangsa kita dalam memandang arti penting petani dan hak kepemilikan tanah, serta keberlanjutan masa depan agraria di Indonesia. Reforma agraria merupakan proses restrukturisasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (khususnya tanah). Presiden Soekarno menganggap bahwa reforma agraria dapat menyelesaikan masalah agraria sisa-sisa kolonialisme dan feodalisme, sekaligus meletakkan pondasi ekonomi nasional. Beliau juga percaya jika petani yang memiliki tanah sendiri akan menggarapnya lebih intensif. Namun, reforma agraria masih jauh dari harapan. Konflik agraria berupa penggusuran, penanganan represif, intimidasi, ancaman, dan kriminalisasi terhadap masyarakat di pedesaan masih berjalan di tengah pandemi Covid-19. Kasus-kasus penggusuran dan kriminalisasi ini masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam progam reforma agraria pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah menargetkan teredistribusinya tanah seluas 9 juta hektar. Tetapi, hal tersebut masih belum sesuai harapan. Progam reforma agraria di Indonesia masih belum menunjukkan keberhasilannya dalam konteks merombak ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. Lambatnya implementasi reforma agraria berdampak pada konflik-konflik agraria di Indonesia. Praktik-praktik penggusuran, diskriminasi hukum, kiminalisasi dan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak asasi petani lainnya masih menimpa para petani sampai dengan masyarakat adat. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengatakan bahwa konflik agraria yang terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (2015-2020) tercatat mencapai 2.291 kasus. Hal tersebut melampaui 10 tahun kepemimpinan mantan Presiden Susilo BambangYudhoyono sebanyak 1.770 kasus. Jumlah kasus itu menunjukkan adanya tindakan perampasan tanah yang sangat masif di seluruh Indonesia, baik di desa-desa yang ditempati masyarakat agraris, bahari, pedesaan, hingga masyarakat adat. Meskipun konflik agraria masih berlangsung, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa dirinya tidak ingin konflik agraria ini terus berlangsung.
Percepatan penyelesaian konflik agraria harus segara diimplementasikan dan diiringi dengan penguatan kebijakan reforma agraria. Hal itu bertujuan untuk menegakkan kedaulatan pangan dan memajukan kesejahteraan petani dan rakyat Indonesia. Mungkin bagi sebagian orang, menjadi petani adalah suatu hal yang biasa saja, bahkan kuno. Sehari-hari kerjanya hanya membajak sawah dan menanam padi, seakan tidak ada yang spesial dari pekerjaan ini. Namun, petani merupakan pahlawan tanpa tanda jasa. Setiap hari, para petani membasmi hama di padi agar beras yang nantinya dihasilkan adalah beras yang berkualitas. Di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini, sektor pertanian menjadi salah satu penopang terbesar yang menyelamatkan ekonomi negara. Disaat sektor yang lain sudah gulung tikar akibat pandemi, sektor pertanian menjadi salah satu penopang terbesar yang menyelamatkan ekonomi negara. Disaat sektor yang lain sudah terpukul, sektor pertanian justru masih kokoh sehingga kebutuhan pangan kita masih bisa terpenuhi. Oleh karena itu, kita sebagai sesama warga Indonesia hendaknya mendukung petani lokal dengan cara yang paling sederhana, yaitu menghargai jasanya dengan cara menghabiskan setiap butir nasi yang kita makan.
Penulis : Gus Amad
Editor : Sha