"There are only two things that can be lightening the world. The sun light in the sky and the press in the earth", Mark Twain.
Opini, Narayanews - Menilik arti dari ucapan Mark Twain tersebut, memang hanya ada dua hal yang membuat terang di bumi ini, yaitu sinar matahari di langit dan pers yang berkembang di bumi. Kebebasan pers merupakan salah satu bentuk kedaulatan rakyat yang menjadi unsur sangat penting demi menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Di Indonesia, setiap tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional. Peringatan Hari Pers Nasional ini ditetapkan bersamaan dengan lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang berdiri pada tanggal 9 Februari 1946 di Solo, Jawa Tengah. Kelahiran Pers di Indonesia sendiri tidak bisa dipisahkan dari semangat perjuangan. Tidak seperti dibelahan dunia lain, pers di Indonesia lahir dengan semangat menentang penindasan dan pembelaan rakyat.
Dalam tulisan saya kali ini, saya pribadi menyoroti tentang keberadaan pers mahasiswa yang kerap kali mendapatkan intimidasi, kekerasan, hingga ancaman pembredelan. Pers mahasiswa sendiri merupakan suatu penerbitan media yang dikelola oleh mahasiswa. Pers mahasiswa dianggap sebagai organisasi pers yang paling ideal, karena tidak berorientasi pada kepentingan ekonomi maupun politik, melainkan pada idealisme mahasiswa. Mahasiswa sebagai agent of change atau agen perubahan, harus membawa perubahan pada masyarakat ke arah tatanan sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, pers mahasiswa hadir menjadi wadah untuk menampung kreativitas serta pemikiran-pemikiran kritis dan nilai-nilai intelektualitas di kalangan sivitas akademika perguruan tinggi. Hal ini juga didasarkan, bahwa mahasiswa harus berbasis pada penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat.
Namun, dalam melakukan kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh pers mahasiswa, tak sedikit anggota dari pers mahasiswa mendapatkan kekerasan, baik itu berupa intimidasi, bahkan pembredelan. Dilansir dari republika.co.id, seorang jurnalis media daring dan anggota pers mahasiswa dilaporkan hilang saat meliput aksi demo RUU Cipta Kerja (Ciptaker) pada Kamis (8/10). Bukan hanya itu, seorang jurnalis juga mengalami penganiayaan dan perampasan alat peliputan. Selain itu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika Universitas Negeri Jakarta yang dirusak kantor redaksinya (2013), LPM Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta yang diberedel oleh rektornya (2014), serta yang terbaru adalah LPM Lentera Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang diberedel pihak rektor dan Polres Salatiga (2015), merupakan contoh-contoh kasus pemberangusan kebebasan berkarya jurnalistik, yang terbaru pemanggilan polisi terhadap Citra Maudi dan Thovan Sugandi yang merupakan kru Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung Universitas Gajah Mada terkait dengan kasus kekerasan seksual yang mereka angkat di akhir 2018, seperti yang dilansir dari jurnalposmedia.com.
Kejadian diatas merupakan bentuk adanya pengekangan terhadap kebebasan pers. Dalam UU No. 40 tentang Pers, pers merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Bagi penulis, pada dasarnya pers maupun kegiatan jurnalistik itu merupakan bentuk penyampaian suatu informasi. Memperoleh suatu informasi juga merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, seperti yang tercantum dalam UU No. 14 tentang Keterbukaan Informasi Publik.