Ilustrasi gambar oleh depositphotos
"Gapapalah bohong, kan buat kebaikan!".
Dengan ungkapan seperti itu apakah kita termasuk dalam orang-orang yang membiasakan kebenaran atau mungkin termasuk orang-orang yang membenarkan kebiasaan?. Jika memang benar ungkapan tersebut merupakan kebenaran, lantas apakah kebohongan mempunyai standarisasi "asalkan untuk kebaikan"?. Lalu kebohongan seperti apa yang dianggap baik?. Meskipun begitu, kebaikan yang menurut kita baik, belum tentu baik juga bagi orang lain. Membiasakan kebenaran dan membenarkan kebiasaan memang sekilas sama, namun tetap berbeda dalam arti.
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai membiasakan kebenaran dan membenarkan kebiasaan, terlebih dulu kita harus mengetahui apa itu kebenaran dan apa itu kebiasaan. Dikutip dari berbagai sumber, kebenaran merupakan perbuatan yang dapat diterima oleh manusia berdasarkan akal dan logika. Sedangkan kebiasaan, merupakan suatu perbuatan yang selalu dilakukan berulang-ulang. Bagi saya, kebiasaan terbagi dalam dua hal, pertama kebiasaan yang baik, dan kedua kebiasaan yang buruk. Kebiasaan yang baik diantaranya ialah kejujuran, dan kebiasaan yang buruk salah satunya bungkam. Kebiasaan bungkam merupakan kebiasaan yang buruk, dimana kita mengetahui suatu kesalahan, tetapi kita malah diam membiarkan kesalahan tersebut. Misalnya, seorang mahasiswa baru yang mengetahui bahwa ada organisasi yang menggunakan dana dari kampus dengan nominal yang besar untuk mengadakan acara seminar, tetapi seminar tersebut tidak sebanding dengan dana yang diberikan oleh kampus. Seorang mahasiswa baru tersebut sebenarnya mengetahui perkiraan biaya seminar itu, bahwa dana yang diberikan kampus itu masih bisa dikembalikan setengahnya, namun mahasiswa baru itu hanya bisa diam karena mendapat ancaman dari seniornya. Dari kebiasaan senioritas tersebut akhirnya mengakar kebawah dan terus-menerus berulang, meskipun senior tersebut sudah lulus, kemudian muncul senioritas yang baru.
Seperti yang Soe Hoek Gie ucapkan “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau". Maka, bagi saya tidak semua senioritas itu benar dan harus di Dewa kan. Senioritas semacam tadi itu merupakan sampah peradaban, dimana seorang mahasiswa baru yang seharusnya diajarkan agar mempunyai jiwa kepemimpinan yang jujur, tapi malah diancam, dibungkam yang pada akhirnya mahasiswa baru tersebut mengikuti apa yang seniornya lakukan dan terus berulang mengakar. Membiasakan kebenaran itu berarti menjadikan kebenaran sebagai standarisasi dalam hal apapun, baik pikiran maupun tindakan. Namun, membiasakan kebenaran tak semudah seperti yang apa dibicarakan, benar menurut kita belum tentu benar bagi orang lain, begitupun sebaliknya. Maka dari itu, biasakanlah kebenaran sekecil apapun, karena dari hal sekecil itu, kita akan mulai terbiasa, sehingga bukan hal yang mustahil bagi kita untuk tidak membiasakan kebenaran, bukan membenarkan kebiasaan.
Penulis : Amd
Editor: CS
Tags
opini