PERCAYA MEDIA ATAU PERS, EMANG MASIH PERLU?

 

Sumber Gambar Freepik.com

Berbicara mengenai pers atau media, secara tidak langsung hal ini sudah menjadi sebuah kebutuhan fundamental bagi kehidupan kita. Media hadir seiring dengan kebutuhan masyarakat terhadap transparansi pemerintahan. Media atau pers seakan-akan menjadi jembatan penghubung antara elit politik dengan masyarakat.


Namun, kenyataanya jika kita lihat media saat ini nampaknya hadir sebagai sosok humas politik. Di Indonesia, banyak dari media-media besar dengan jumlah pemirsa yang cukup banyak dikuasai oleh sejumlah politisi. Surya Paloh, Hary Tanoesudibjo, hingga Aburizal Bakrie misalnya, masing-masing darinya memimpin perusahaan media raksasa yang ada di Indonesia.


Jika mengingat jauh beberapa tahun ke belakang, pada saat pemilu 2014 terdapat dua stasiun televisi (Metro TV dan TV One) yang masing-masing dimiliki oleh tokoh pemimpin partai Surya Paloh dan Aburizal Bakrie. Dimana masing-masing dari dua stasiun televisi ini memiliki sudut pandang pemberitaan pilpres yang sangat berbeda.


Di Metro TV, sebelum Nasdem berkoalisi dengan PDIP banyak pemberitaan mengenai Surya Paloh yang notabene dengan pemberitaan positif. Namun ketika koalisi antara Nasdem dan PDIP terjadi, pemberitaan positif mengenai Jokowi melesat unggul dibandingkan pemberitaan mengenai Prabowo.


Sedangkan di TV One, sebelum Golkar berkoalisi dengan Gerindra pemberitaannya didominasi dengan pemberitaan mengenai Jokowi meskipun bernada negatif. Namun setelah berkoalisi dengan Golkar, pemberitaan TV One berubah, nada pemberitaan positif di TV One didominasi oleh Prabowo. Pembentukan dua opini yang berbeda inilah yang akhirnya menjadikan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap media yang juga berakibat terhadap pers dan jurnalistik.


Dikutip dari kompas.com pada 2019 lalu, LIPI sempat merilis survei yang menyatakan bahwa lembaga pers menjadi lembaga demokrasi dengan tingkat kepercayaan publik terendah selama pemilu 2019. Bahkan pers berada setingkat lebih rendah dari DPR yang selama ini dipersepsikan inferior. Dimana DPR memiliki presentase kepercayaan 76,0%, sedangkan pers memiliki presentase kepercayaan hanya 66,3%.


Hal ini diperparah dengan pergeseran penggunaan media, dari media konvensional (koran) yang mulai tergantikan dengan penggunaan media digital. Dimana pada media digital ini clickbait mudah kita jumpai ketika mengakses media. Bahkan, jika berbicara soal kepemilikan media, maka pemberitaan disebuah media tidak akan terhindarkan dari campur tangan kepentingan dari pemilik media itu sendiri (seperti halnya contoh di atas).


Soal kualitas pemberitaan sebuah media, dulu media berlomba-lomba menyajikan pemberitaan yang berkualitas dan akan berpikir dua kali untuk menyajikan pemberitaan mengenai konflik rumah tangga hingga pernikahan artis.


Namun, saat ini media begitu banyak tersebar yang pada akhirnya persaingan antara media ini bukan pada kualitas pemberitaannya, melainkan pada berapa jumlah klik atau ratting yang didapatkan, yang mana hal ini sekaligus menentukan jumlah pemasukan hingga iklan. Sementara untuk memproduksi pemberitaan yang berkualitas, ini dibutuhkan waktu yang cukup panjang dengan biaya yang tentu cukup mahal (hormat dengan Tempo yang masih setia menyajikan jurnalisme investigasi yang berkualitas hingga saat ini).


Banyaknya jumlah media yang tersebar juga sepertinya akan mempengaruhi kualitas para jurnalis. Dulu jurnalis sepertinya menjadi profesi yang dipandang cukup menantang dalam mencari sebuah kebenaran. Namun, jika melihat saat ini profesi jurnalis hanya sebatas mengolah pernyataan pejabat, hingga mencari isu hangat untuk diberitakan (pernikahan, perceraian, hingga masalah keluarga artis misalnya).


Pada akhirnya apapun itu kita dituntut untuk mengikuti dari perkembangan yang ada. Namun kita juga harus tetap kosen terhadap independensi media yang nantinya akan mempengaruhi kualitas pemberitaan yang dipublikasi.


Kalau menurut kalian gimana? Apa solusi dari permasalahan ini dari kalian?





Penulis : Wildaan

Editor : sha

Lebih baru Lebih lama