Bung Besar dan Muhammadiyah

Soekarno mendapat anugerah Bintang Muhammadiyah pada tahun 1965 / Sumber Foto : Suara Aisyiyah

Indonesia, ketika mendengar nama itu banyak orang yang langsung ingat kepada tokoh bapak pendiri bangsa presiden pertama Indonesia atau Founding Father nya Indonesia. Ya, beliau adalah Ir. Soekarno yang akrab disapa Bung Karno atau Bung Besar. Dengan segala pemikiran revolusionernya, ternyata Bung Karno banyak belajar dan banyak mendapat motivasi dari pendiri organisasi islam Muhammadiyah.

K.H. Ahmad Dahlan bagi Bung Karno adalah sosok yang mempunyai pemikiran yang sangat maju, apalagi mengenai pendidikan untuk indonesia, Bung Karno pun tertarik dengan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang pentingnya pendidikan di Indonesia yang mengedepankan visi pemberdayaan umat tanpa menihilkan sebagai arah gerak zaman. Hal inilah yang membuat Bung Karno muda terpantik untuk mempelajari Islam dan Muhammadiyah secara organisasi.

Bung Karno sejak kecil mengaku tidak pernah mendapatkan pendidikan agama dari orang tuanya, walaupun ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo adalah seorang guru. Kala itu, Bung Karno sekolah di Hogere Burger School (HBS) setingkat sekolah umum di Surabaya pada tahun 1917 dan tinggal di rumah Tjokroaminoto. Selama Bung Karno tinggal di rumah Tjokroaminoto, Bung Karno tak menyianyiakan kesempatan belajar dibidang politik, sebab Tjokroaminoto merupakan seorang pemimpin politik orang Jawa dan dinobatkan sebagai “Raja Jawa yang tak Bermahkota”.

Seperti dikutip dalam buku Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan Muffasir Jawa karya Ali Fahrudin (2020), Tjokroaminoto sebagai pemimpin Sarekat Islam (SI), partai terbesar saat itu, tak jarang dikunjungi sejumlah tokoh pergerakan nasional untuk berdiskusi terkait masalah politik. Bung Karno sering menemani Tjokroaminoto ketika diundang ke sejumlah tempat untuk menyampaikan pidato politik. Karenanya tidak mengherankan bila Bung Karno mengatakan bahwa Tjokroamintoto sangat mempengaruhi hidupnya dalam pergerakan politik. 

Tak hanya pelajaran politik, Bung Karno pun mulai mendalami agama. Ia mulai mengikuti kegiatan organisasi agama dan sosial seperti Muhammadiyah. Ia sering mengikuti pengajian disebuah gedung disebrang rumah Tjokroaminoto, di Gang Peneleh, Surabaya. Pengajian itu diselenggarakan setiap bulan yang dihadiri kurang lebih 100 orang. Pengajian biasa dimulai pada pukul 20:00 WIB hingga larut malam. Bahkan Bung Karno ikut pengajian itu ketika dihadiri oleh pendiri organisaisi keagamaan Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan.

“Sungguh pun aku asyik mendengarkan, tapi belumlah aku menemukan Islam dengan betul-betul dan sungguh-sungguh sampai aku masuk penjara. Di dalam penjaralah aku menjadi penganut (Islam) yang sebenarnya,” ungkap Bung Karno kepada Cindy Adams Penulis buku Penyambung Lidah Rakyat.

Beberapa kali Soekarno harus masuk penjara kolonial Belanda. Setelah lulus pendidikan di Tehnische Hoge School (THS), yang dikemudian hari menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB), Soekarno semakin aktif dalam organisasi pergerakan, seperti Jong Java dan Jong Indonesia. Puncaknya ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927. Saat itu pemerintah Hindia Belanda menuduhnya telah melakukan makar dan memenjarakannya di Sukamiskin, Bandung pada tahun 1930.

Selepas keluar dari penjara, Bung Karno mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Lagi-lagi, pemerintah kolonial Hindia Belanda tak suka dengan Partindo yang semakin besar bersama PNI, yang kala itu sudah dipimpin Mohammad Hatta. Kembali  Bung Karno akhirnya dibuang ke Ende (Pulau Flores), sekarang provinsi Nusa Tenggara Timur. Di tempat pembuangannya,  Bung Karno aktif kembali mempelajari tentang agama Islam.

Namun, secara resmi Soekarno menjadi kader Muhammadiyah tercatat sejak tahun 1938, yaitu ketika ia menjalani pembuangan dan tahanan rumah di Bengkulu. Dikutip dari buku K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) terbitan Museum Kebangkitan Nasional (2015), Soekarno menjadi calon anggota Muhammadiyah cabang Bengkulu pada 1 Juni 1938. Namun, sejak 1 Agustus 1938, Bung Karno telah menjadi anggota secara definitif diorganisasi keagamaan tersebut.

Aktifnya Bung Karno di Muhamamdiyah cabang Bengkulu, tercatat dalam surat Kepala Pemerintah Daerah, J. Bastiaans kepada Residen Bengkulu bernomor 7147/20 tertanggal 14 September 1938. Di kota itu, Soekarno ikut duduk dalam Komisi Kurikulum sekolah Muhammadiyah. Pada 20 Agustus, sempat diangkat menjadi anggota Dewan Pengajaran Muhammadiyah. Disebutkan, sejak Bung Karno berada di Bengkulu, organisasi Muhammadiyah lebih hidup.

Bagi Bung Karno, waktu itu Muhammadiyah cocok dengan metode berpikir kritis yang ia anut. Berpijak Sosialisme-Marhaenisme yang menjadi landasan dalam berpikir Bung Karno, Muhammadiyah secara konsep dianggap mewakili kemajuan yang dicita-citakan sosok dengan nama kecil Koesno tersebut.

Itulah sisi lain dari Soekarno atau Bung Karno sapaan akrab beliau sebagai kader Muhammadiyah. Ia tidak hanya dekat secara organisasi, tapi juga lekat dengan pemikiran dan gagasan K.H. Ahmad Dahlan tentang kemajuan Islam dan realitas masyarakat yang ada di Indonesia.

Kedekatan dengan Muhammadiyah inilah yang membuat Bung Karno berwasiat. Ketika ia wafat, pendiri republik ini ingin dimakamkan secara Muhammadiyah di Batutulis, Bogor, Jawa Barat. Ia ingin dikuburkan di bawah pohon yang rindang. Bung Karno mengatakan ingin beristirahat di bawah pohon rindang, dikelilingi pemandangan indah dan berada di sebelah sungai yang memiliki air jernih.

Namun, pada akhirnya Bung Karno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur karena situasi politik saat itu. Karena situasi politik saat itu, untuk pemakaman sang proklamator saja, ada kekhawatiran yang berlebihan dari rezim Orde Baru.




Penulis : Dika Agung Wahyudi
Editor : Amd
Lebih baru Lebih lama