Perguruan Tinggi sebagai ruang utama penciptaan kultural, kreatifitas, pedagogi, dan karakter pemuda sudah semestinya mempunyai gaung dalam ruang budaya. Meski seringkali kerja-kerja kreatif terbantahkan dan patah oleh alasan yang klasik: kurangnya pengetahuan dan fasilitas tak memadai. Berhadapan dengan ini, bukankah tingginya pengetahuan dan tercukupinya fasilitas tidak serta-merta menjamin penciptaan seni yang tinggi nilainya?
Kini kerja-kerja kreatif juga sering terbentur dan bahkan menanjak ke arah komersialisasi yang serba cepat juga digital. Maka apresiasi kreatifitas seringkali diucapkan lebih jujur dalam ruang-ruang yang lebih kecil dari itu. Dalam kantong-kantong kultural yang lebih bersifat intim, romantis, dan dekat dengan kerja-kerja kekaryaan sebagai habitus, atau mereka yang bernafas dengan kesenian sebagai bentuk kebiasaan, bahkan kebutuhan.
Panggung sebagai medium yang terus diakrabi dan menggelisahkan, istilah “ekosistem”
seperti merajai pembicaraan kesenian. Membangun ekosistem yang sehat dianggap sebagai solusi mujarab untuk menjawab berbagai persoalan mulai dari akses pada sumberdaya dan jaringan, pengelolaan ruang seni, sampai pada peran lembaga pendidikan seni. Tapi apa yang sesungguhnya dimaksud dengan ekosistem? Apa saja komponen yang membentuk sebuah ekosistem?
Mencoba memahami batas antara panggung dan non-panggung, yang seringkali saling terhubung, saling membangun, dan lebih bersifat teknis representasi. Bagi kesadaran tubuh serta usaha representasi diantaranya, berbagai cara menyempurnakan pemanggungan adalah usaha yang tidak habis-habisnya diupayakan, usaha serta keinginan mencapai kesatuan dalam pesan yang ingin disampaikan kadang kala tersendat oleh pengalaman-pengalaman juga ingatan yang terpatri dalam tubuh aktor, juga non-aktor. Sehingga pencapaian adalah sebuah ketok palu cukup, yang dipilih untuk direpresentasikan dalam panggung.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan besar yang tiada habis bergulir ini, maka upaya lebih lanjut menggugat diri menuju kerja kolektif terus dirangsang. Mengakrabi penggalian mengenai potret batin masyarakat yang tergambar dalam ruang-ruang pertunjukan misalnya, sebagai spirit atau barangkali lebih tepat disebut premis dalam penciptaan pertunjukan, serta sehasta upaya eksternalisasi diri.
UKM Teater Roempoet mengangkat naskah Pelangi Karya Nano Riantiarno yang akan digelar pada Sabtu, 09 Maret 2024 dengan dua kali pementasan pada pukul. 14:30 WIB dan 19:30 WIB bertempat di Gedung Kesenian Nyimas Rarasantang Kota Cirebon.
Proses Bedah Naskah.
R. Ammar Fauzan Sutradara Studi Pentas Angkatan 23 UKM Teater Roempoet mengusung beberapa naskah untuk proses diberangkatkannya panggung menuju pagelaran. Naskah Pelangi Karya Nano Riantiarno kemudian disetujui secara mufakat oleh rekan pengurus dan keluarga besar Teater Roempoet.
Pelangi sendiri sebagai sebuah kata yang memiliki peyorasi makna, sebagai arus Pelangi atau sebut saja LGBTQ+ sama sekali tidak memiliki relevansi dalam diangkatnya naskah ini menuju pementasan. Wacana ini pun sempat diutarakan keluarga besar Teater Roempoet dalam upaya penengahan gagasan dalam kerja-kerja kreatifitasnya. Ini menjadi sebuah tantangan bagi R. Ammar Fauzan Sutradara Studi Pentas Angkatan 23 UKM Teater Roempoet.
Ketua Umum Teater Roempoet Alan Maulana periode 2023-2024 ini kemudian menggagas studi pentas untuk digelar pada momen mendekati datangnya bulan Ramadhan dengan segala kemungkinan yang paling dekat, momen ini dimaksudkan sebagai bentuk munggahan yang menurutnya paling tepat untuk menyambut kedatangan bulan suci dengan ibadah kekaryaan sebagai bentuk persembahan dan kerja- kerja sosial.
Norbertus Riantiarno atau lebih akrab dipanggil Mas Nano dikenal sebagai dramawan terbesar dalam dekade 1980-an. Nano telah aktif di teater sejak 1965 di kota kelahirannya, Cirebon. Karya-karyanya cukup banyak. Konsepsi Nano dalam berteater yaitu “kemarin atau nanti : teater tanpa selesai”. Dengan konsepsi ini Nano memberi nama teaternya “Teater Koma”. Maksudnya teater yang tidak pernah selesai. Sang dramawan berada dalam proses pencarian yang terus menerus. Proses tersebut untuk mencari kesempurnaan drama-dramanya atau identitas keseniannya. Dalam karya dan pentasnya, Nano menyajikan banyak kehidupan kumuh. Nano menampilkan kehidupan rakyat gembel dengan permasalahannya.
Naskah Pelangi Karya Nano Riantiarno mencoba mencari keterhubungan antara toleransi dan dinamikanya dalam ruang paling intim, dalam darah, dalam hubungannya dengan cita juga cinta.
Naskah ini dibuka dengan konflik tetangga yang memicu kekhawatiran, pun pada akhirnya mempertanyakan ulang arti toleransi, sejauh mana batas toleransi yang menubuh dalam pengalaman menjelma sebagai sikap keseharian. Diskriminasi rasial, gender, serta agama seringnya muncul dalam bahasa paling halus dan sembunyi. Memaksa kita lebih peka pada ingatan pribadi, sudah sejauh mana keikhlasan itu disadari? Atau sedekat apa?
Pementasan stupen ke 23 dari Teater Roempoet yang berjudul Pelangi karya Nano Riantiarno, berikut tim yang terlibat dalam pementasan ini,
Sutradara: R Ammar Fauzaan
Asisten Sutradara: Firda Nisabillah
Aktor: Nadia Ayu Azzaharah, Geulis Diah Rosalia, Bella Meildia, Siti Nur Hidayah,Muhammad Hanif Zaidan, Aman Abdurahman, isoludin, Dinar.
Pimpinan Produksi: Sutisna
Penata panggung dan cahaya: Deo Prasetyo, Sule
Musik: Azzraha Chaterine Lasena, Suhaili Al ayyubi Murod
Make-up & kostum: Ayu Linatin, Puput
Tim produksi: Nauli Auliani, Naila Aulia Chaerunisa
Beserta seluruh jajaran Tim Produksi UKM Teater Roempoet