Fenomena balap lari liar yang marak terjadi di bulan Ramadan, khususnya setelah sahur atau menjelang subuh, semakin menarik perhatian publik. Berbeda dengan balap motor yang identik dengan kebut-kebutan berisiko tinggi, balap lari liar sering kali dianggap sebagai aktivitas hiburan yang seru dan mudah diikuti tanpa memerlukan peralatan khusus. Namun, di balik keseruannya, terdapat sejumlah persoalan yang perlu dicermati.
Dalam beberapa kasus, ajang ini tidak sekadar menjadi ajang adu kecepatan, tetapi juga berubah menjadi arena taruhan. Para peserta maupun penonton kerap mempertaruhkan uang untuk mendukung pelari favorit mereka. Lebih jauh lagi, penggunaan jalan umum sebagai lintasan lari bisa membahayakan keselamatan, baik bagi peserta maupun orang-orang di sekitarnya.
Dari perspektif komunikasi dan media, balap lari liar semakin populer karena banyaknya konten yang tersebar di berbagai platform digital seperti TikTok dan Instagram. Banyak anak muda yang tertarik mengikuti tren ini setelah melihat video-video viral yang menampilkan keseruan dan euforia ajang tersebut. Sayangnya, sisi negatif dari fenomena ini, seperti potensi kecelakaan, perjudian, dan gangguan ketertiban, masih terabaikan.
Munculnya balap lari liar sebagai tren di bulan Ramadan menjadi cerminan bagaimana budaya anak muda berkembang di era digital. Jika tidak ada kontrol dan alternatif yang lebih positif, kebiasaan ini bisa berkembang menjadi aktivitas yang merugikan banyak pihak. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih bijak dalam mengarahkan energi anak muda ke kegiatan yang lebih aman dan bermanfaat.
Penulis:
Tri Yuda P